Model kerja hibrida atau hybrid working ditengarai bisa membuat hasil kerja lebih maksimal. Karena cara kerja semacam ini telah meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan karyawan. Hal ini bukan persepsi semata. Studi global terbaru dari Cisco menunjukkan bahwa model kerja hibrida atau “hybrid working” telah meningkatkan kesejahteraan karyawan secara keseluruhan namun Cisco juga mencatat perlunya perbaikan dari perusahaan agar model kerja itu lebih inklusif.

Bekerja secara hibrida merupakan kombinasi antara bekerja dari kantor (work from office/WFO) dan bekerja dari rumah atau jarak jauh (work from home/WFH).

Studi Cisco yang berjudul “Employees are ready for hybrid work, are you?” itu melihat dampak pekerjaan hibrida pada lima kategori kesejahteraan, yaitu kesejahteraan emosional, keuangan, mental, fisik, dan sosial. Hal ini tentu saja berdampak pada produktifitas kerja.

Studi yang dilakukan antara bulan Januari hingga Maret 2022 itu menyurvei 28.000 karyawan tetap dari 27 negara, termasuk lebih dari 1.050 responden dari Indonesia.

Hasil penelitian Cisco menunjukkan lebih dari satu dari dua karyawan (56,4 persen) di Indonesia percaya bahwa kualitas kerja telah meningkat dýengan menerapkan model kerja hibrida. Sebanyak 85,3 persen karyawan di Indonesia mengatakan bahwa kemampuan untuk bekerja dari mana saja membuat mereka lebih bahagia.

Pekerjaan hibrida juga telah meningkatkan kesejahteraan secara keseluruhan, di mana 86,5 persen mengatakan bahwa mereka menghemat uang dalam satu tahun terakhir dan 79,1 persen mengatakan bahwa mereka menjadi lebih sehat secara fisik.

Sebanyak 83,5 persen karyawan di Indonesia yang mengatakan mereka menginginkan kombinasi model kerja dari jarak jauh dan dari kantor atau secara hibrida di masa depan, dibandingkan dengan jarak jauh sepenuhnya (14 persen) dan kantor sepenuhnya (3 persen).

Managing Director Cisco Indonesia Marina Kacaribu menilai bahwa karyawan dan perusahaan di Indonesia merasakan manfaat nyata pada situasi pekerjaan hibrida. Namun, menurutnya, pekerjaan hibrida juga lebih dari sekadar mendukung kerja jarak jauh atau kembali ke kantor dengan aman.

“Para pemimpin perusahaan perlu memikirkan kembali cara menumbuhkan budaya inklusif, menempatkan karyawan–pengalaman, keterlibatan, dan kesejahteraan mereka–di pusat, dan memodernisasi jaringan dan infrastruktur keamanan mereka untuk memberikan pengalaman karyawan yang lancar, aman dan inklusif,” kata Marina melalui keterangan resmi, Kamis.

Dalam studi Cisco, hanya satu dari empat (25 persen) karyawan Indonesia yang berpikir bahwa perusahaan mereka “sangat siap” untuk masa depan dengan pekerjaan hibrida.

Pada saat yang sama, teknologi akan tetap berperan penting untuk mendukung pekerjaan mereka. Dua pertiga (67 persen) responden percaya bahwa memiliki masalah konektivitas secara teratur membatasi karier bagi pekerja jarak jauh dan 93,2 persen mengatakan infrastruktur jaringan sangat penting untuk pengalaman bekerja dari rumah yang mulus.

Hampir 9 dari 10 (85,9 persen) responden di Indonesia juga percaya bahwa keamanan siber sangat penting untuk membuat pekerjaan hibrida dilakukan secara aman, dan 69,3 persen percaya organisasi mereka saat ini memiliki kemampuan dan protokol yang tepat.

Direktur Keamanan Siber Cisco ASEAN Juan Huat Koo mengatakan teknologi merupakan pendorong utama pertumbuhan di tempat kerja hibrida dan perlu didukung oleh keamanan terintegrasi dari ujung ke ujung.

Menurutnya, organisasi perlu meningkatkan keamanan dan membangun kewaspadaan yang lebih besar, dengan memungkinkan akses yang aman dan melindungi pengguna dan titik akhir di jaringan dan cloud.

“Organisasi harus memprioritaskan postur keamanan yang kuat yang menopang setiap upaya digitalisasi dan memastikan bahwa keamanan siber adalah inti dari arsitektur teknologi mereka,” kata Juan.

Baca juga :  Kembali Setia Kepada Asuransi Jiwa